Minggu, 25 November 2007

STAIN Kudus ; Di Ambang Stagnasi Peradaban

oleh Sutomo*

Bangsa yang cerdas adalah bangsa yang terdidik. Para anggotanya bukanlah “beo-beo” yang tinggal menurut perintah, tetapi masyarakat yang cerdas, berdiri sendiri, dan mempunyai pendirian sendiri, para anggotanya tidak tergantung kepada orang lain tetapi percaya diri sebagai suatu bangsa yang keras dan bukan bangsa yang lembek.
(H.A.R. Tilaar).

Bahan Refleksi
Pendakian menuju kemajuan lembaga perguruan tinggi tidaklah semudah membalikkan kedua telapak tangan, namun perjuangan yang melelahkan dan dentuman energi dikeluarkan, lahir maupun batin semuanya terkuras demi sebuah kemajuan organisasi dan lembaga. Berbagai persoalan yang menyeruak pasti dapat dilalui dengan optimisme. Mulai dari “pertengkaran batin”, percaturan politik, percaturan sistem dan lain sebagainya.

Hal-hal itulah yang dilakukan para punggawa STAIN Kudus mulai dari dulu, yang mulanya IAIN Walisongo Cabang Semarang yang berada di Kudus, kemudian pada beberapa tahun kemudian tepatnya tahun 1997 IAIN Walisongo yang ada di Kudus berubah menjadi STAIN Kudus. Para punggawanya merasa berbesar hati sebab sudah independen dan tidak terikat dengan lembaga lain. Sikap independen, diharapkan dapat menjadi pelecut lembaga, sehingga manajemen bisa berjalan dengan baik tanpa yang nihil dari intervensi.

Dalam rekaman sejarah, dengan pergulatan panjang selama lebih dari satu dekade. STAIN Kudus pun percaya diri karena strategis dari letak geografis. Hal itulah yang menjadi penunjang kemajuan STAIN Kudus selama ini, bila di tinjau dari kaca mata masyarakat pantura, biaya kuliah yang terjangkau menjadi entry point, sehingga di setiap tahunnya ribuan mahasiswa baru menyerbu kampus hijau ini untuk menimba ilmu.

Gelombang kemajuan peradaban STAIN Kudus semakin lama semakin nyata bila diteropong dari sudut pandang kuantitas mahasiswa. Tetapi soal kualitas, tunggu dulu!. Setiap tahun ajaran baru, mahasiswa semakin bertambah, dan gedung-gedung perkuliahan yang baru dibangun sebagai benteng keilmuan serta gedung perkantoran menjulang. Semua itu, menjadi ciri khas kemajuan bila dilihat dari sudut pandang fisik, tentu hal ini menjadi daya tarik tersendiri bagi mahasiswa baru yang masih buta dengan seluk-beluk dunia kampus.

Lambat laun, pada medio tahun 2005, kala itu masih kepemimpinannya Prof. Muslim A. Kadir, gejolak ritmis di tubuh STAIN Kudus mulai terbaca. Dari seputar persoalan penerimaan dosen baru yang harus memakai pra-syarat pungutan liar yang nominalnya lumayan besar, pengunduran diri Pembantu Ketua (PK) II, Drs. Danusiri, M.Ag. serta rentetan persoalan lain yang membuat pahit bibir.

Gejolak pada saat itu mengantarkan Presiden Mahasiswa 2005, Sahabat Mustaqim dan pimpinan redaksi Bulletin Detik, M. Nasrurrohman dipanggil Kejaksaan Negeri Kudus karena ditengarai menampilkan hasil investigasi dan informasi rahasia. Namun pada akhirnya, keduanya hanya dimintai klarifikasi semata mengenai sengkarut persoalan yang membelit birokrasi.

Persoalan-persoalan yang membuncah pada tahun itu satu persatu dapat diselesaikan dengan baik. Kasus yang timbul, tidak menimbulkan konflik yang signifikan, baik di lingkup opini mahasiswa maupun dosen. Sehingga persoalan dan gejolak yang ada pada kala itu perlahan reda. Proses perkuliahan kembali berlangsung, tanpa jejak pergulatan kepentingan politik praktis.

Menatap Masa Depan
Visi Sekolah Tinggi Agama Islam Negeri (STAIN) Kudus yang menyiapkan peserta didik menjadi teknolog ilmu Islam yang unggul secara intelektual, kaya dalam amal serta anggun dalam moral kebijakan (Radar Kudus, 25/2005). Jargon yang fasih digunakan Prof. Muslim A. Kadir (Ketua STAIN Kudus Kala itu), diharapkan bisa menarik pada khalayak umum masuk di lembaga yang pernah dipimpinnya. Ibarat menggelar dagangan di tengah menjamurnya Universitas atau Sekolah Tinggi lain yang ada di Indonesia, terlebih yang ada di Kudus. Ini menjadi tantangan berat bagi para ”pendekar” STAIN Kudus ”tempo doeloe”.

Sejalan dengan visi di atas, yang belum juga di rasakan oleh mahasiswa, baik yang sudah lulus maupun yang baru menikmati masa kuliah. Menurut beberapa alumni, ternyata yang paling penting adalah bukan visi atau misi yang bagus akan tetapi lulus langsung dapat pekerjaan sesuai dengan yang diimpikan, ketika pertama masuk kuliah. Bagi mahasiswa yang masih bergulat dengan dunia intelektual, diharapkan kuliah lancar sesuai kompetensi dan hasrat belajarnya.

Masa demi masa berlalu, era kepemimpiunan Prof. Musim A. Kadir pun usai, kemudian di gantikan kampiun baru, Dr. masyharuddin, M. Ag. Pergantian pemimpin kampus ini, tepat pada akhir bulan pebruari 2005. Dengan adanya peralihan kepemimpinan STAIN Kudus diharapkan ada perubahan yang signifikan, dan alhamdulillah sampai pada saat ini fasilitas bagi mahasiwa begitu melimpah. Selain pembangunan gedung mewah, fasilitas internet gratis juga tersedia, namun fasilitas gratis ini baru sebagian mahasiswa yang bisa menikmati. Fasilitas internet gratis hanya bertebaran di sebagian kecil kantor organisasi kemahasiswaan, seperti BEM, DPM, UKM LPM Paradigma, UKM Menwa. Organisasi kampus yang lain, belum bisa mencicipi nikmatnya berselancar di dunia maya!. Dalam hati ini terucap, semoga tahun berikutnya semua mahasiswa bisa menikmati internet on-line tanpa batasan biaya.

Membangun peradaban kampus tidak hanya menumpuk fasilitas dan infrastruktur, yang harus diperhatikan adalah orientasi belajar mahasiwa. Sebagian besar mahasiswa membawa bekal niatan teguh, kuliah sebagai gerbang pembuka pekerjaan. Tentu, tak semudah itu, kerja keras dan skill potensial harus digenggam. Hal ini juga menjadi tantangan bagi birokrat kampus, untuk mencari link perusahan yang memberikan peluang pekerjaan. Namun sebelum hal itu di lakukan ada beberapa hal yang harus diselesaikan. Pertama, orientasi pembelajaran harus diperjelas, dengan dialog terbuka untuk mencari benang merah atas beragam polemik yang ada, serta mencari solusi alternatif yang menghantarkan pada win-win solution. Kedua, Mencari visi dan masterplan pembangunan yang jelas. Ketiga, memperbaiki sistem perkuliahan.

Hal yang menarik meletup, ketika membincangkan tentang visi di era kepemimpinan Prof. Muslim A. Kadir dengan masa sekarang, di bawah tampuk kekuasaan Dr. Masyharudin, M. Ag. Jargon sekarang yang didengungkan adalah pemberdayaan Islam Transformatif, ini sungguh sangat berbeda karena mentransformatifkan Islam ke khalayak umum adalah sebuah tantangan tersendiri bagi lembaga pendidikan. Semoga kabar yang terbetik ini, tak hanya isapan jempol saja, sebab semangat berlipat muncul di tengah kepemimpinan baru. Ke depan, yang perlu menjadi perhatian bersama adalah mengenai pangsa kerja beberapa tahun kemudian, lembaga apapun tidak akan bisa maju tanpa mempunyai kerangka konsep yang jelas, diharapkan STAIN Kudus jangan sampai mengalami kebekuan (jumud). Akan tetapi menapaki jalan terjal ke depan yang lebih baik dengan meminggirkan politik fitnah, strategi menghujat, dan pencitraan negatif yang lain. Semoga ”politik maaf” menjadi bingkai kepemimpinan, dan terhindar dari ”stroke politik” yang parah. Dan STAIN Kudus pun tak lagi menjadi kampus marginal di pinggiran lahan pertanian. Aih, kampus mewah, pinggir sawah!.

* Penulis adalah Mahasiswa Tarbiyah STAIN Kudus Semester Akhir, Alumni MA. Qudsiyyah Kudus ’03, dan Sekarang Koordinator Kajian dan Pers PMII Cabang Kudus

Tidak ada komentar: