Minggu, 25 November 2007

STAIN Kudus ; Di Ambang Stagnasi Peradaban

oleh Sutomo*

Bangsa yang cerdas adalah bangsa yang terdidik. Para anggotanya bukanlah “beo-beo” yang tinggal menurut perintah, tetapi masyarakat yang cerdas, berdiri sendiri, dan mempunyai pendirian sendiri, para anggotanya tidak tergantung kepada orang lain tetapi percaya diri sebagai suatu bangsa yang keras dan bukan bangsa yang lembek.
(H.A.R. Tilaar).

Bahan Refleksi
Pendakian menuju kemajuan lembaga perguruan tinggi tidaklah semudah membalikkan kedua telapak tangan, namun perjuangan yang melelahkan dan dentuman energi dikeluarkan, lahir maupun batin semuanya terkuras demi sebuah kemajuan organisasi dan lembaga. Berbagai persoalan yang menyeruak pasti dapat dilalui dengan optimisme. Mulai dari “pertengkaran batin”, percaturan politik, percaturan sistem dan lain sebagainya.

Hal-hal itulah yang dilakukan para punggawa STAIN Kudus mulai dari dulu, yang mulanya IAIN Walisongo Cabang Semarang yang berada di Kudus, kemudian pada beberapa tahun kemudian tepatnya tahun 1997 IAIN Walisongo yang ada di Kudus berubah menjadi STAIN Kudus. Para punggawanya merasa berbesar hati sebab sudah independen dan tidak terikat dengan lembaga lain. Sikap independen, diharapkan dapat menjadi pelecut lembaga, sehingga manajemen bisa berjalan dengan baik tanpa yang nihil dari intervensi.

Dalam rekaman sejarah, dengan pergulatan panjang selama lebih dari satu dekade. STAIN Kudus pun percaya diri karena strategis dari letak geografis. Hal itulah yang menjadi penunjang kemajuan STAIN Kudus selama ini, bila di tinjau dari kaca mata masyarakat pantura, biaya kuliah yang terjangkau menjadi entry point, sehingga di setiap tahunnya ribuan mahasiswa baru menyerbu kampus hijau ini untuk menimba ilmu.

Gelombang kemajuan peradaban STAIN Kudus semakin lama semakin nyata bila diteropong dari sudut pandang kuantitas mahasiswa. Tetapi soal kualitas, tunggu dulu!. Setiap tahun ajaran baru, mahasiswa semakin bertambah, dan gedung-gedung perkuliahan yang baru dibangun sebagai benteng keilmuan serta gedung perkantoran menjulang. Semua itu, menjadi ciri khas kemajuan bila dilihat dari sudut pandang fisik, tentu hal ini menjadi daya tarik tersendiri bagi mahasiswa baru yang masih buta dengan seluk-beluk dunia kampus.

Lambat laun, pada medio tahun 2005, kala itu masih kepemimpinannya Prof. Muslim A. Kadir, gejolak ritmis di tubuh STAIN Kudus mulai terbaca. Dari seputar persoalan penerimaan dosen baru yang harus memakai pra-syarat pungutan liar yang nominalnya lumayan besar, pengunduran diri Pembantu Ketua (PK) II, Drs. Danusiri, M.Ag. serta rentetan persoalan lain yang membuat pahit bibir.

Gejolak pada saat itu mengantarkan Presiden Mahasiswa 2005, Sahabat Mustaqim dan pimpinan redaksi Bulletin Detik, M. Nasrurrohman dipanggil Kejaksaan Negeri Kudus karena ditengarai menampilkan hasil investigasi dan informasi rahasia. Namun pada akhirnya, keduanya hanya dimintai klarifikasi semata mengenai sengkarut persoalan yang membelit birokrasi.

Persoalan-persoalan yang membuncah pada tahun itu satu persatu dapat diselesaikan dengan baik. Kasus yang timbul, tidak menimbulkan konflik yang signifikan, baik di lingkup opini mahasiswa maupun dosen. Sehingga persoalan dan gejolak yang ada pada kala itu perlahan reda. Proses perkuliahan kembali berlangsung, tanpa jejak pergulatan kepentingan politik praktis.

Menatap Masa Depan
Visi Sekolah Tinggi Agama Islam Negeri (STAIN) Kudus yang menyiapkan peserta didik menjadi teknolog ilmu Islam yang unggul secara intelektual, kaya dalam amal serta anggun dalam moral kebijakan (Radar Kudus, 25/2005). Jargon yang fasih digunakan Prof. Muslim A. Kadir (Ketua STAIN Kudus Kala itu), diharapkan bisa menarik pada khalayak umum masuk di lembaga yang pernah dipimpinnya. Ibarat menggelar dagangan di tengah menjamurnya Universitas atau Sekolah Tinggi lain yang ada di Indonesia, terlebih yang ada di Kudus. Ini menjadi tantangan berat bagi para ”pendekar” STAIN Kudus ”tempo doeloe”.

Sejalan dengan visi di atas, yang belum juga di rasakan oleh mahasiswa, baik yang sudah lulus maupun yang baru menikmati masa kuliah. Menurut beberapa alumni, ternyata yang paling penting adalah bukan visi atau misi yang bagus akan tetapi lulus langsung dapat pekerjaan sesuai dengan yang diimpikan, ketika pertama masuk kuliah. Bagi mahasiswa yang masih bergulat dengan dunia intelektual, diharapkan kuliah lancar sesuai kompetensi dan hasrat belajarnya.

Masa demi masa berlalu, era kepemimpiunan Prof. Musim A. Kadir pun usai, kemudian di gantikan kampiun baru, Dr. masyharuddin, M. Ag. Pergantian pemimpin kampus ini, tepat pada akhir bulan pebruari 2005. Dengan adanya peralihan kepemimpinan STAIN Kudus diharapkan ada perubahan yang signifikan, dan alhamdulillah sampai pada saat ini fasilitas bagi mahasiwa begitu melimpah. Selain pembangunan gedung mewah, fasilitas internet gratis juga tersedia, namun fasilitas gratis ini baru sebagian mahasiswa yang bisa menikmati. Fasilitas internet gratis hanya bertebaran di sebagian kecil kantor organisasi kemahasiswaan, seperti BEM, DPM, UKM LPM Paradigma, UKM Menwa. Organisasi kampus yang lain, belum bisa mencicipi nikmatnya berselancar di dunia maya!. Dalam hati ini terucap, semoga tahun berikutnya semua mahasiswa bisa menikmati internet on-line tanpa batasan biaya.

Membangun peradaban kampus tidak hanya menumpuk fasilitas dan infrastruktur, yang harus diperhatikan adalah orientasi belajar mahasiwa. Sebagian besar mahasiswa membawa bekal niatan teguh, kuliah sebagai gerbang pembuka pekerjaan. Tentu, tak semudah itu, kerja keras dan skill potensial harus digenggam. Hal ini juga menjadi tantangan bagi birokrat kampus, untuk mencari link perusahan yang memberikan peluang pekerjaan. Namun sebelum hal itu di lakukan ada beberapa hal yang harus diselesaikan. Pertama, orientasi pembelajaran harus diperjelas, dengan dialog terbuka untuk mencari benang merah atas beragam polemik yang ada, serta mencari solusi alternatif yang menghantarkan pada win-win solution. Kedua, Mencari visi dan masterplan pembangunan yang jelas. Ketiga, memperbaiki sistem perkuliahan.

Hal yang menarik meletup, ketika membincangkan tentang visi di era kepemimpinan Prof. Muslim A. Kadir dengan masa sekarang, di bawah tampuk kekuasaan Dr. Masyharudin, M. Ag. Jargon sekarang yang didengungkan adalah pemberdayaan Islam Transformatif, ini sungguh sangat berbeda karena mentransformatifkan Islam ke khalayak umum adalah sebuah tantangan tersendiri bagi lembaga pendidikan. Semoga kabar yang terbetik ini, tak hanya isapan jempol saja, sebab semangat berlipat muncul di tengah kepemimpinan baru. Ke depan, yang perlu menjadi perhatian bersama adalah mengenai pangsa kerja beberapa tahun kemudian, lembaga apapun tidak akan bisa maju tanpa mempunyai kerangka konsep yang jelas, diharapkan STAIN Kudus jangan sampai mengalami kebekuan (jumud). Akan tetapi menapaki jalan terjal ke depan yang lebih baik dengan meminggirkan politik fitnah, strategi menghujat, dan pencitraan negatif yang lain. Semoga ”politik maaf” menjadi bingkai kepemimpinan, dan terhindar dari ”stroke politik” yang parah. Dan STAIN Kudus pun tak lagi menjadi kampus marginal di pinggiran lahan pertanian. Aih, kampus mewah, pinggir sawah!.

* Penulis adalah Mahasiswa Tarbiyah STAIN Kudus Semester Akhir, Alumni MA. Qudsiyyah Kudus ’03, dan Sekarang Koordinator Kajian dan Pers PMII Cabang Kudus

Sabtu, 10 November 2007

Kenangan BEM STAIN Kudus 2005


Pergulatan pertarungan menduduki kancah "menara gading" di tingkat mahasiswa dalam penghujung akhir tahun 2004 sangat membuat "jenuh" semua aktifis yang ada di kampus STAIN Kudus saling "pandang-memandang" untuk menggapainya. Tak lebih pertarungan itu tidak hanya melibatkan organisasi internal kampus, namun organisasi eksternal justru yang dominan mempengaruhi pergulatan yang ada saat itu mungkin jauh kedepanpun seperti itu, semisal Pergerakan Mahasiswa Islam Indonesia (PMII), Himpunan Mahasiswa Islam (HMI), Kesatuan Aksi Mahasiswa Muslim Indonesia (KAMMI) sangat perperan aktif kala itu dengan mempromosikan kadernya masing-masing untuk di distribusikan menjadi orang nomer satu di dataran mahasiswa, ini adalah sebuah tradisi tahunan setiap organisasi eksternal yang ada di lingkungan STAIN Kudus.

Dengan segala pemikiran dan tenaga yang penuh, PMII kala itu masih di percaya mahasiswa secara umum, alhamdulillah Sahabat Mustaqim kala itu terpilih menjadi Presiden Mahasiswa dan dai adalah satu-satunya kader interpretasi dari PMII.


Masa Kepengurusan

selama satu tahun kepengurusan BEM STAIN Kudus 2005, ternyata tidak semudah yang di bayangkan si-penulis sebelum menjadi pengurus BEM kala itu, ternyata menjadi tanggung jawab yang sangat berat sekali, walaupun hanya satu tahun. Persoalan suka dan duka telah dialami semua pengurus yang ada dari yang asyi' dan yang penuh dengan beda pendapat sehingga menimbulkan konflik sedikit di dtaran pengurus, namun kala itu alhamdulillah dapat di bendung dengan konsolidasi baik secara formal mauopun informal. sebetulnya banyak sekali persoalan yang melanda BEM kala itu, bahkan kalau di tulis di sini mungkin ng' ada tempat untuk menulisnya


Kenangan Manis

kumpul sesama pengurus, guyonan bareng di salah stu rumah sahabat adalah kenangan yang tak terlupakan, apalagi dirumahnya sahabati Nikmatun tepatnya di desa kopek, Purwodadi, Grobogan. penuh lika-liku perjalanannya, batunya masih "prengkel-prengkel"sehingga bagaikan naik kereta api "mendat-mendut tapi atos", namun tak henti-hentinya bagaikan seorang yang di landa banjir di hadapan muka penuh semangat untuk bersilaturohim ke rumah sahabati yang satu ini

Jumat, 09 November 2007

KENAPA PILIH PMII...............?

Oleh; Sutomo*

Setiap mahasiswa baru pasti tidak tahu akan keadaan Universitas atau Sekolah Tinggi yang akan di buat kuliah setiap harinya nanti selama empat tahun atau lima tahun atau bahkan lebih, entah dari segi sistem perkuliahan, sistem birokasinya dan segala aktifitas organisasi yang ada di situ, dan lain sebagainya. Itulah yang dirasakan sipenulis pada waktu tiga tahun silam.
Namun hal itu terkikis dengan adanya pendekatan dari kakak seniornya ketika di Sekolah Lanjutan Tingkat Atas (SLTA) atau Madrasah Aliyah (MA) yang dulu di tempatinya, selain itu juga ada orang lain yang mendekatinya demi sebuah organisasi yang mulai di gelutinya ketika masuk di Universitas atau Sekolah Tinggi tersebut, entah organisasi internal kampus maupun eksternal kampus.
Ada beberapa hal yang perlu diketahui kenapa harus pilih PMII?
Pergerakan Mahasiswa Islam Indonesia (PMII) merupakan organisasi pengkaderan yang bukan hanya sekedar organisasi masa seperti organisasi lainnya. Meskipun PMII memiliki anggota atau kader yang sangat banyak tidak dapat disebut sebagai ORMAS ( Organisasi Masa), karena ranah pijakan PMII ini tidak melangkah kesana. Ternyata PMII memiliki kemampuan yang lebih dibanding dengan yang lain. Sama juga artinya ketika anda masuk dan mendaftarkan diri untuk menjadi anggota atau kader tentunya anda dihadapkan pada pilihan-pilihan yang berbeda. Sudah disinggung diatas bahwasannya PMII mempunyai nilai yang lebih yang tidak dimiliki oleh organisasi lainnya. Adapun nilai lebih yang dimiliki PMII, ialah;
1. Aswaja (Ahlussunnah Waljama'ah)
Aswaja dijadikan sebagai Manhaj Al-fiqr (Metode Berfikir) oleh warga PMII dan sebagai pijakan berfikir, aswaja merupakan tawaran atau pilihan yang sangat mengena disetiap kader, hal ini karena aswaja merupakan ikatan kultural ideologi NU, bukan secara struktural.
2. NDP (Nilai Dasar Pergerakan )
Menjadi sumber kekuatan ideal moral dari aktifitas pergerakan, pusat argumentasi dan pengikat kebenaran dari kebebasan berfikir, berucap dan bertindak dalam aktifitas pergerakan. Adapun nilai-nilainya, antara lain; Tauhid, Hubungan dengan Tuhan, Hubungan dengan Manusia, Hubungan dengan Alam, dan Hubungan dengan Ilmu.
3. Paradigma Kritis-Transformatif
Paradigma dalam warga PMII dapat dirumuskan sebagai titik pijak untuk menentukan cara pandang, menyusun sebuah teori, menyusun pertanyaan, dan sesuai dengan tuntutan keadaan masyarakat PMII baik secara sosiologis, politis, dan antropologis. Maka PMII memilih paradigma kritis-transformatif sebagai pijakan organisasi. Dalam mewujudkan trasformasi sosial PMII bukan hanya berpijak pada paradigma kritis saja. Mengapa demikian? Karena paradigma kritis hanya mampu melakukan analisis tetapi tidak mampu melakukan organizing atau mengaktualisasikan, menjabatani dan melakukan perubahan sosial. Karenanya, paradigma kritis yang digunakan PMII adalah kritik yang mampu mewujudkan perubahan sehingga menjadi paradigma kritis-transformatif. Dalam hal ini paradigma kritis-transformatif dituntut untuk memuiliki instrumen-instrumen gerak yang bias yang dilakukan oleh PMII.
Selain hal diatas PMII juga mempunyai format profil yang berupa:
1.Dzikir, Fikir dan Amal Sholeh (Motto PMII)
2.Taqwa, Intelektualitas dan Profisionalitas (Tri Khidmad PMII)
3.Kejujuran, Kebenaran dan Keadilan (Tri Komitmen PMII)
4.Ulul Albab (Eka Citra Diri PMII)
Kenapa PMII memakai Ulul Albab sebagai Eka Citra Diri? Sebab Ulul Albab mempunyai cita-cita yang luhur dan agung dalam membentuk kadernya yang berupa:
1. Berkesadaran historis-Primordial atas relasi Tuhan-Manusia –Alam
2. Berjiwa optimis-Trasendental-atas kemampuan mengatasi masalah kehidupan
3. Berfikir secara dealektis
4. Bersikap kritis
*Penulis adalah seorang yang sedang "mencari" tuhan yang sedikit telah dilupakan pada masa kecilnya

Kamis, 08 November 2007

MAKNA JIHAD DI BULAN RAMADLAN

Oleh Sutomo*

Dalam bulan suci ini adalah refleksi dari sebuah pengentasan hawa nafsu yang selama sebelas bulan mungkin sebagian dari kita telah melakukan hal-hal yang di larang oleh Allah.
Dengan apologi di atas mungkin tepat sekali kalau kita meniti di bulan ramadhan ini sebagai lahan acuan yang tepat. Kadang hal itu sering diabaikan kita sebagai aktifis mahasiswa, penulis ingat pada suatu diskusi ada yang mengatakan bahwasannya ramadhan hanya sebagai rutinitas dan selama ini Islam belum bisa memberi solusi yang tepat, dalam konteks ini adalah puasa Ramadhan yang di maknai salah satu peserta diskusi sebagai agenda rutinitas umat Islam. Masya Allah
Idealnya di dalam puasa Ramadhan ini ada hal yang urgen, yaitu memerangi hawa nafs atau jihad fin Nafs.
Ada tiga hal dalam jihad menurut Masdar Farid Mas’udi:
Pertama, jihad fisik untuk mengalahkan pihak lain secara fisik dan dengan menggunakan kekuatan dan alat yang juga bersifat fisik, kepalan tangan, pedang atau rudal. Semua bangsa, semua komunitas, termasuk komunitas agama pernah terlibat jihad katagori ini, dalam ukuran yang berbeda-beda. Alasannya beragam, tetapi lazimnya adalah mempertahankan eksistensi diri atau sekadar meneguhkan hegemoni diri.
Izin perang yang diberikan Islam kepada umatnya pun terbatas pada pertahanan diri. Tidak lebih.bahkan ditegaskan, jika kalian mau membalas serangan, balaslah sepadan dengan tindakan lawan, dan jangan melebihi. Bahkan, apabila kalian bisa menahan diri, tidak melakukan serangan balik, itulah lebih baik (An-Nahl [16]: 126). Jihad ini menurut Masdar adalah jihad yang paling rendah karena kemenangan yang di peroleh hanya sebatas kemenangan lahiriyah saja. Orang secara fsik bisa di katakan, tetapi secara pikiran belum tentu bisa.
Kedua, adalah jihad dengan keunggulan Ilmu pengetahuan. Sementara itu, orang boleh saja dikalahkan secara fakir dan ilmu pengetahuan. Tapi, belum tentu dalam hati dia ikhlas mengakui keunggulan lawan dan menjadikannya anutan. Dia bisa saja membuat anutan. Dia bisa saja membuat perhitungan, untuk suatu saat membantainya dengan senjata Ilmu pengetahuannya dan pemikiran yang lebih unggul.
Ketiga, adalah jihad untuk mengalahkan hati orang dengan keluhuran budi sebagai jihad dengan kemenangan yang paling sejati. Orang yang dikalahkan hatinya, bukan secara ikhlas akan menjadikan sang pemenang sebagai pahlawan dan anutan bagi dirinya sendiri. Inilah dengan martabat yang tertinggi, yang oleh Rasulullah disebut jihad akbar, dengan kemenangan yang juga akbar.(Jawa Pos, 29/10/2006)
Jihad akbar inilah yang harus dilakukan setiap orang Islam, apalagi seperti bulan puasa seperti ini seseorang harus bisa menjaga dan menahan dalam berbagai hal tidak hanya menahan lapar dan haus tapi lebih dari itu puasa harus menahan dari gejala pemikiran yang "negatif".
Dengan puasa dalam arti membersihkan diri idealnya tidak hanya dilakukan didalam bulan puasa saja, namun pasca ramadhanpun seorang muslim harus bisa menjaga dirinya dari hal yang tidak di kehendaki oleh Allah SWT.
Jadi dalam puasa bisa diartikan sebagai pembersih diri dan diharapkan pasca lebaran orang muslim tetap istiqomah menjalankan perintah Allah.

*Penulis adalah Alumni MA Qudsiyyah, sekarang sedang mencari "ruang batin" yang dulu pernah hilang karena sebuah hal yang tidak bisa ditinggalkan

K...A...S...I...H


Kasih……………
Sudah lama jiwa ini menanti akan wajahmu
Senandung harapan ku menanti akan kehadiranmu
Sehingga hati ini ingin menjamahmu
Menanti dan selalu menanti tiga tahun lamanya
Aku……………
Bagaikan tumbuhan yang butuh matahari
Layu tumbuhan itu tanpa matahari
Tak sesegar tumbuhan lain yang hijau
Semerbak menghiasi indahnya taman
Renunganku……………
Namun semua itu kenyataan hidup
Di sapa dan selalu menyapa dalam kehidupan
Tuhan, kapan kita bisa ketemu
Membicarakan sandaran hatiku yang sesungguhnya



By: Dana

ISLAM INDONESIA : Sebuah kearifan lokal



Seseorang ketika bicara tentang Islam Indonesia, mereka sedang bicara soal Islam Modernis dan Tradisionalis yang di wakili Muhammadiyah dan NU. tapi itu biasanya klasifikasi terhadap pemahaman atas doktrin keagamaan. (Budiman Sudjatmiko)


Banyaknya aliran pemikiran tentang Islam yang ada di Indonesia pada saat ini membuat corak Indonesia mempunyai karakter tersendiri di dalam kancah pemahaman tentang wacana ke-Islaman yang ada, ini membuat Indonesia semakin kaya akan pemikiran baru.


Munculnya fenomena tersebut mulai adanya Walisongo, ketika itu ajaran Hindu-Budha di poles dengan ajaran Islam, dengan adanya fenomena yang ada sekilas tentang sistem penyebaran Islam di jawa, Sunan Kalijogo dengan memakai wayang kulit yang jadi tradisi masyarakat sekitar pada waktu itu.


Sejak itulah muncul corak yang berbeda Islam yang ada di Indonesia dengan munculnya Islam pertama kali di zaman Nabi Muhammad SAW, ini membuktikan bahwasannya Islam yang ada selama ini bersifat fleksibel dan bisa di pakai dimana saja dan kapanpun bisa, tapi perlu di ingat dalam hal ini adalah ibadah ghoiru mahdhoh bukan ibadh mahdhoh. Kadang pemahaman tersebut sulit di terima oleh kebanyakan orang terlebih orang Islam sendiri.


Kemudian tahun demi tahun dan masa demi masa muncullah organisasi terbesar di Indonesia yaitu Nahdlotul Ulama’ pada 1926, dan Muhammadiyah pada 1912 dengan munculnya dua organisasi terbesar di Indonesia pada saat ini menegaskan bahwasannya Islam di Indonesia mempunyai corak dan karakter tersendiri apalagi di tandai dengan pemahaman Empat Mazdhab Fiqih sampai pada sekarang ini.


Namun dengan adanya kejadian yang ada di Indonesia pada pertengahan 2006, yaitu pada masanya sigoyang ngebor Inul Daratista banyak orang yang mengklaim bahwa goyangannya di hukumi sebagian orang Islam sesama artis sendiri dengan mengambil hukum haram, ini menandakan bahwasannya pemikiran yang bersifat pluralistas semakin tergeser. Lagi aliran-aliran baru yang ada pada Tahun itu, Ahmadiyah dan Elia Eden menunjukkan pluralitas yang ada semakin tergeser atau pemikiran baru anak-anak muda NU yang ada di cap melenceng dari ajaran Islam tanpa di klarifikasi dulu, contoh Ulil Absor Abdala yang mempunyai kajian Jaringan Islam Liberal (JIL)


Bukan berarti si penulis setuju dengan aliran-aliran atau pemikiran-pemikiran diatas, namun cara penyelesaiannya yang kurang setuju, mengharamkan orang lain dan kadang berbuat anarkis tanpa di klarifikasi dulu.


Orang memahami Islam dan bahkan kebanyakan yang ada, memahaminya hanya mempunyai satu ajaran yang tidak bisa di ubah sama sekali sehingga ajaran yang ada kelihatan sangat sempit dan bersifat ekstrim.


Padahal realitas yang ada tentang sistem penurunan al-Qur’an pada zaman itu sangat di sesuaikan oleh Allah pada masa itu pula. Jadi sebenarnya kalau kita kaji lebih jauh tentang Islam secara komprehensif sangatlah enjoy dan mudah untuk di terapkan pada zamannya.

AGAMA DALAM ARUS POST-MODERN



Agama selamanya hanya akan menjadi hiasan dan patung belaka, jika umatnya tidak dapat merasionalkan ajaran agama itu sendiri.
Permasalahan pokok dari era yang satu ini (Post-Modern) adalah anti kemapanan, menentang segala hal yang berbau kemutlakan dan baku, menghindari suatu sistematika uraian dan pemecahan persoalan yang bersifat skematis, serta memanfaatkan nilai-nilai yang berasal dari berbagai aneka ragam sumber.
(Amin Abdullah)


Dalam segi doktrin agama, agama dapat di definisikan sebagai seperangkat peraturan yang mengatur hubungan antara manusia dengan Tuhan, alam dan dengan manusia lainnya. Tapi dalam segi antropologi, agama sebagai sistem keyakinan yang dapat menjadi bagian dan inti dari sistem-sistem nilai yang ada dalam kebudayaan dari masyarakat yang bersangkutan, dan menjadi pendorong atau penggerak serta pengontrol bagi tindakan anggota masyarakat untuk berjalan sesuai dengan kebudayaan dan ajaran agamanya.

Sejauh ini kalau kita membicarakn agama pasti klaim sepihaklah yang akan muncul , bahwa agama kitalah yang paling benar, hal tersebut disadari atau tidak pasti akan muncul.
Sebab pendoktrinan di dalam suatu agama adalah hal yang lumrah di lakukan oleh agama itu sendiri tanpa mengindahkan yang lainnya. Hal seperti itulah yang di zaman sekaramg ini tidak patut untuk dilakukan di setiap masing-masing agama, tidak memandang agama itu Islam, Kristen, Hindu, atau Budha atau yang lainnya


Agama sesungguhnya mempunyai peran ganda, untuk individu dan masyarakat. Terhadap seorang individu, agama adalah penyucian diri, sarana penyucian jiwa yang akan memberi berbagai pegangan dan pedoman untuk mencapai kesempurnaan hidup terhadap suatu masyarakat, agama menjadi suatu sarana penting dalam tertib sosial, dan norma-normanya sering amat efektif untuk membentuk suatu sistem sosial.


Agama dalam individu maupun sosial, dalam artian ajarannya dalam arus post- modernisasi ini mendapat tantangan yang sangat berat sekali, namun di pandang berat atau ringannya agama tersebut di lihat dari pengikutnya dalam mengaktualisasikan ajaran dalam agamanya, sehingga agama tersebut layak untuk di ikuti atau "diimani".


Sejarah masyarakat telah menunjukkan suatu perkembangan dalam sistem masyarakat kita, sebagaimana perkembangan dalam pemikiran, pengetahuan dan perkembangan masyarakat itu sendiri. Masyarakat dalam bentuk primitif, bentuk kepercayaan bersifat animisme dan dinamisme, yang memandang semua atau sebagian alam di penuhi dengan kekuatan-kekuatan ghaib. Pemenuhan kebutuhan dan pemecahan masalahpun akhirnya dengan sesajen-sesajen tertentu, untuk mengendalikan dan menundukkan kekuatan-kekuatan ghaib yang di pandang sebagai sumber dari segala kejadian.


Masyarakat berkembang dalam bentuk agraris, bentuk kepercayaan alam primitifpun mengalami perkembangan, perubahan, pergeseran, dan bahkan hilang. Sampai kita temui sekarang kehidupan masyarakat kita berbentuk modern atau industri. Banyak gejala-gejala sosial yang kita temui akibat perubahan masyarakat kita dari bentuk agraris ini. Diantaranya muncul sikap rasionalitas terhadap seluruh bidang hidup kemasyarakatan termasuk bidang kepercayaan atau agama. Meledaknya urbanisasi, sikap hidup yang dinamis, bebas, individualistik dan materialistik.


Kenyataan ini tentu membawa perubahan dalam pandangan manusia terhadap kepercayaan atau agama. Dari sejarah perkembangan masyarakat dan sistem kepercayaan tersebut di atas bahwa agama atau kepercayaan menunjukkan akan di tinggal masyarakatnya manakala tidak sesuai dengan kehidupan masyarakat. Agama akan ditinggal pengikutnya jika tidak pernah memberikan sumbangan pada masyarakat, dalam mendorong semangat hidup, etos kerja yang positif, alternatif pemecah masalah atau apapun lainnya. Lebih-lebih bagi agama yang dipandang menghambat kemajuan dan perkembangan masyarakat.


Seperti yang telah terjadi pada masyarakat dunia barat sebagian besar diantara mereka telah meninggalkan agamanya ketika berada pada masyarakat modern atau industri. Mereka gagal membawa serta agamanya dan gagal dalam membangun nilai-nilai agama pada masyarakat sekarang ini. Di katakan oleh Ellul, salah seorang ahli sosiolog, ada beberapa alasan sosiologis yang menyebabkan makin rendahnya jumlah orang menjalankan amalan-amalan keagamaan berdasarkan tradisi Nasrani, yaitu adanya sekulerisasi, iklim penalaran dan sekeptisisme serta ketidakpraktisan sembahyang. Sampai sekarang masyarakat barat banyak yang menempuh jalan hidup secara atheis. Paling kurang mereka berhaluan agnostis, yaitu sikap hidup yang percaya terhadap Tuhan dan beragama tidak, menolakpun juga tidak. Oleh karenanya umat islam dalam arus post-modernisasi ini harus peka dan cermat dalam menilik perubahan-perubahan yang ada dalam sikap keberagamaan atau terhadap agama pada masyarakat yang ada pada saat ini.


Ketika dalam agama , pemeluknya tidak bisa merasionalkan secara emplisit maka agama tersebut akan ditinggal pemeluknya atau bahkan akan di hina oleh pemeluk lain yang bersebarangan dengan agama tersebut, maka dalam kehidupan post-modernitas ini pemeluk agama tersebut harus bisa mengaktualisasikan secara nyata tanpa adanya penghalang yang menghalangi ajaran agama itu sendiri.